Medan -
Perjuangan masyarakat adat itu dimulai sejak tahun 1997 silam.Saat itu masyarakat adat Lumban Sitorus sudah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan dan memperoleh kembali hak mereka atas tanah adat yang diwariskan nenek moyang mereka yaitu Guru Datu Sumalanggak Sitorus dari PT TPL. Di mana PT TPL merupakan perusahaan raksasa yang menguasai lahan untuk industri kertas. Mereka menuntut agar tanah adat yang digunakan PT TPL untuk dikembalikan. Tuntutan ini membuat masyarakat harus bersitegang dengan pihak perusahaan.
Puncaknya adalah demonstrasi di depan pintu perusahaan pada 13 Juli 2015. Aksi ini berjalan sepanjang hari. Masyarakat kaget karena Sanmas dilaporkan ke polisi setempat oleh pihak perusahaan keesokan harinya. Dalam laporan itu, seorang karyawan melaporkan Sanmas telah memukul dan menganiaya salah seorang karyawan PT TPL. Laporan ini menuai kontroversi dan amarah warga semakin tidak terbendung. Mereka meminta Sanmas tidak perlu diproses secara hukum karena penyidikan penuh kejanggalan.
Namun ternyata hukum buta, berkas Sanmas terus diproses hingga ke pengadilan. Jika hukum itu buta, tapi tidak dengan majelis hakimnya. Dengan suara bulat, majelis PN Balige membebaskan Sanmas.
"Menyatakan bahwa terdakwa Sanmas Sitorus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum. Membebaskan Sanmas," putus ketua majelis hakim, Derman P. Nababan dalam sidang terbuka di PN Balige, Senin (25/1/2016).
Berdasarkan pembuktian di depan persidangan, majelis hakim meyakini tuduhan yang disampaikan jaksa tidak berdasarkan alat bukti yang cukup. Dari 10 saksi yang dihadirkan, hanya saksi korban saja yang menyatakan pemukulan tersebut. Sehingga berlaku asas hukum unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi).
"Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya," putus majelis yang beranggotakan Azhary P Ginting dan Ribka Novita Bontong.
Putusan ini sontak disambut gembira masyarakat. Tokoh adat yang sepanjang persidangan terus mengawal jalannya sidang bersorak dan tertawa bahagia. Sanmas yang mengenakan kemeja lengan panjang juga tidak kuasa menahan perasannya dan berbaur dan berpelukan dengan masyarakat. Usai sidang, mereka menggelar doa bersama di depan pengadilan sebagai tanda syukur atas hadirnya keadilan di bumi Balige.
(asp/try)
Aktivis lingkungan Sammas Sitorus alias Sanmas akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Balige, Sumatera Utara (Sumut). Ia diadili karena giat membela masyarakat adat untuk mendapatkan hak ulayatnya.
Perjuangan masyarakat adat itu dimulai sejak tahun 1997 silam.Saat itu masyarakat adat Lumban Sitorus sudah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan dan memperoleh kembali hak mereka atas tanah adat yang diwariskan nenek moyang mereka yaitu Guru Datu Sumalanggak Sitorus dari PT TPL. Di mana PT TPL merupakan perusahaan raksasa yang menguasai lahan untuk industri kertas. Mereka menuntut agar tanah adat yang digunakan PT TPL untuk dikembalikan. Tuntutan ini membuat masyarakat harus bersitegang dengan pihak perusahaan.
Puncaknya adalah demonstrasi di depan pintu perusahaan pada 13 Juli 2015. Aksi ini berjalan sepanjang hari. Masyarakat kaget karena Sanmas dilaporkan ke polisi setempat oleh pihak perusahaan keesokan harinya. Dalam laporan itu, seorang karyawan melaporkan Sanmas telah memukul dan menganiaya salah seorang karyawan PT TPL. Laporan ini menuai kontroversi dan amarah warga semakin tidak terbendung. Mereka meminta Sanmas tidak perlu diproses secara hukum karena penyidikan penuh kejanggalan.
Namun ternyata hukum buta, berkas Sanmas terus diproses hingga ke pengadilan. Jika hukum itu buta, tapi tidak dengan majelis hakimnya. Dengan suara bulat, majelis PN Balige membebaskan Sanmas.
"Menyatakan bahwa terdakwa Sanmas Sitorus tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum. Membebaskan Sanmas," putus ketua majelis hakim, Derman P. Nababan dalam sidang terbuka di PN Balige, Senin (25/1/2016).
Berdasarkan pembuktian di depan persidangan, majelis hakim meyakini tuduhan yang disampaikan jaksa tidak berdasarkan alat bukti yang cukup. Dari 10 saksi yang dihadirkan, hanya saksi korban saja yang menyatakan pemukulan tersebut. Sehingga berlaku asas hukum unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi).
"Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya," putus majelis yang beranggotakan Azhary P Ginting dan Ribka Novita Bontong.
Putusan ini sontak disambut gembira masyarakat. Tokoh adat yang sepanjang persidangan terus mengawal jalannya sidang bersorak dan tertawa bahagia. Sanmas yang mengenakan kemeja lengan panjang juga tidak kuasa menahan perasannya dan berbaur dan berpelukan dengan masyarakat. Usai sidang, mereka menggelar doa bersama di depan pengadilan sebagai tanda syukur atas hadirnya keadilan di bumi Balige.
(asp/try)